Sabtu, 04 Desember 2010

KH. As'ad Umar

Innalillahi wa innailaihi Raji'un.. telah wafat pimpinan Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang , dan merupakan salah satu Kiai besar  Darul Ulum .  berikut cuplikan berita mengenai beliau yang menjadi Berita Utama di Harian Merdeka:

  Sabtu, 27 Desember 2003
Berita Utama  

KH As'ad Umar, Ulama Golkar yang Gundah Korupsi
KEPUTUSAN KH As'ad Umar terasa mengejutkan. Partai Golkar kehilangan ikon ulama besarnya. KH As'ad Umar, pimpinan Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang yang berusia 70 tahun itu, tiba-tiba mengambil keputusan besar, yaitu keluar dari partai pimpinan Akbar Tandjung dan menyatakan netral pada Pemilu 2004.
Bagi Partai Golkar, baik secara nasional maupun regional Jatim, keputusan Kiai As'ad tersebut bagaikan petir di siang bolong. Sebab, lebih dari 30 tahun, ulama yang masih memiliki hubungan nasab dengan KH Mustain Romli itu, istiqamah berjuang bersama Partai Golkar. "Saya berjuang di partai itu, yang penting aspek kemanfaatannya," kata Kiai As'ad dalam satu kesempatan wawancara dengan Suara Merdeka, baru-baru ini.
Kemanfaatan yang dimaksud, parameternya dilihat dari seberapa jauh suatu partai memberikan manfaat kepada umat. Partai tersebut berjuang tak sekadar pada tataran pernyataan verbal. Namun, dibuktikan dengan kerja nyata yang manfaatnya dirasakan langsung umat.
Dalam konteks itu, Kiai As'ad melihat Partai Golkar (dahulu Golkar) lebih nyata memperjuangkan kepentingan umat dibandingkan dengan dua partai lainnya (PPP dan PDI) pada era rezim Orde Baru.
Atas dasar prinsip tersebut, pimpinan Pondok Pesantren Darul Ulum KH Mustain Romli berani membuat keputusan kontroversial pada 1970-an. Yaitu menyatakan pesantrennya berjuang bersama Golkar, walau ketika itu sebagian besar warga nahdliyyin (NU) berjuang di Partai NU (Pemilu 1971) dan PPP (Pemilu 1977).
Keputusan berani dan kontroversial pemangku Pesantren Darul Ulum itu mengguncang blantika perpolitikan nasional. Sebab, Golkar ketika itu dinilai sebagai lawan politik nomor satu bagi Partai NU dan PPP.
Fatwa KH Mustain Romli berjuang bersama Golkar diikuti secara istiqamah Kiai As'ad Umar dan KH Dimyati Romli, dua tokoh penting di Pesantren Darul Ulum, sepeninggal KH Mustain Romli.
Mulai Pemilu 1977 sampai 1999, Pesantren Darul Ulum menjadi rujukan religi politik warga Golkar di Jatim. Pondok tersebut bersama dengan Kiai As'ad dan Kiai Dimyati menjadi ikon Partai Golkar dan bagi pesantren besar NU lainnya di Jatim. Apalagi antara Kiai Mustain, Kiai As'ad, dan Kiai Dimyati ada pertalian darah dengan keluarga besar pendiri NU, KH Hasyim Asy'ari.
Pesantren Darul Ulum yang kini memiliki 12.000-an santri itu, sejak Pemilu 1977 sampai 1999 mempunyai "warna ideologi" berbeda dari tiga pesantren besar NU lainnya di Jombang, yaitu Pondok Tebuireng yang didirikan KH Hasyim Asy'ari, Pondok Mamba'ul Ma'arief Denanyar didirikan KH Bisjri Syamsuri, dan Pondok Tambak Beras yang didirikan KH Wahab Chasbullah.
Ketiga pesantren besar NU tersebut, pada Pemilu 1971 menjadi basis utama NU di Jatim. Dan, mulai Pemilu 1977 hingga 1982 menjadi "referensi politik" kekuatan NU/PPP secara nasional. Bukankah KH Bisjri Syamsuri pernah duduk di Majelis Syuro DPP PPP ketika ketua umum DPP PPP dijabat KH Idham Khalid (politikus NU)?
Haluan politik Pondok Darul Ulum yang berbeda dari garis politik sebagian besar pondok NU lainnya di Jatim mengakibatkan pesantren itu menghadapi terpaan berat dalam perjalanannya. Kritik tajam dan goyangan keras yang diembuskan pimpinan pesantren non-Golkar lainnya, justru makin merekatkan hubungan simbiosis mutualisme Pesantren Darul Ulum dan partai pendukung utama rezim Orde Baru tersebut.
Dukungan dana dan material dari Golkar kepada Pesantren Darul Ulum mengucur deras, sehingga pondok itu mampu mengakselerasi proses pembangunan sarana dan prasarana fisiknya secara luar biasa.
Selain itu, lembaga pendidikannya mengalami kemajuan sangat pesat. Terbukti, pesantren tersebut memiliki lembaga pendidikan dari tingkat TK sampai pendidikan tinggi (PT). Pondok itu juga memiliki beberapa sekolah unggulan yang proses pendidikannya bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Hubungan akrab Pesantren Darul Ulum dengan Golkar terajut sejak Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, berlanjut dengan tampilnya BJ Habibie sebagai Presiden Ke-3 RI, dan lahirnya Partai Golkar pimpinan Akbar Tandjung sebagai reinkarnasi Golkar Orde Baru.
Singkat kata, akselerasi pembangunan fisik dan nonfisik Pondok Darul Ulum yang luar biasa tak bisa dilepaskan dari kontribusi Golkar. Partai itu membutuhkan legitimasi dan justifikasi religi politik dari ulama-ulama yang memiliki basis santri kuat dan mantap, baik dalam perspektif ilmu keagamaan, sejarah maupun nasab. Dan, itu didapatkan dari Pondok Darul Ulum Jombang.
Karena itu, pada era perpolitikan 1970-an dan 1980-an, makin keras kritik yang dilancarkan KH Yusuf Hasyim -pimpinan Pondok Tebuireng Jombang- terhadap Golkar, maka makin deras bantuan dan makin terajut hubungan politik pondok pesantren itu dengan partai berlambang pohon beringin tersebut.
Ibaratnya, KH Yusuf Hasyim (Pak Ud) yang menggoyang pohon asam, pengasuh Pondok Darul Ulum tinggal memunguti asamnya. Dengan demikian, yang merasakan buah manis dari kritik tajam Pak Ud kepada pemerintah Orde Baru adalah pengasuh Pesantren Darul Ulum. Makin kencang kritik Pak Ud dilancarkan, makin deras pula bantuan yang diterima Pondok Darul Ulum.
Tetap Jadi Rujukan Politik
Menjelang Pemilu 2004, Pesantren Darul Ulum Jombang tetap jadi jujugan dan sekaligus rujukan politik partai dan para calon presiden (capres). Tak kurang Prof Dr Nurcholish Madjid, Jenderal (Purn) Wiranto, Jusuf Kalla, Akbar Tandjung, dan para capres lainnya pernah bersilaturahmi ke pesantren yang berlokasi di Kecamatan Peterongan ini.
Kiai As'ad dan Kiai Dimyati sebagai "nahkoda" pesantren menerima secara terbuka para tamunya tersebut. Kedatangan Jusuf Kalla misalnya, disambut hangat. Bahkan saat menyampaikan sambutan, Kiai As'ad mengemukakan Jusuf Kalla adalah tokoh nasional yang paling layak menduduki jabatan presiden/wapres. Alasannya, dari perspektif agama Islam, pada diri Jusuf Kalla terdapat empat karakter kepemimpinan sahabat Rasulullah Muhammad SAW, yaitu Abu Bakar Assiddiq, Umar Bin Khattab, Usman Bin Affan, dan Ali Bin Abu Thalib.
Adanya gerakan antikorupsi dalam perspektif moral-religi yang digagas Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi dan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Ahmad Syafi'i Ma'arif ternyata membawa pengaruh besar pada keyakinan dan ideologi politik Kiai As'ad. Perubahan dimaksud tak bisa lepas dari perkara korupsi yang melilit Akbar Tandjung, orang pertama di Golkar.
Rupanya, KH As'ad Umar dihadapkan pada persimpangan jalan, apakah mengikuti dan mendukung gerakan antikorupsi yang digagas NU-Muhammadiyah sebagai imam moral-religinya dalam berpolitik. Atau tetap istiqamah berada di rel Golkar yang dipimpin seorang ketua umum yang terjerat perkara korupsi.
KH As'ad Umar tampak gundah dengan perkara korupsi yang menimpa Akbar Tandjung. Dia merasa berada dalam posisi dilematis menyikapi dua bentangan kanal yang berada di depannya. Mendukung gerakan antikorupsi NU-Muhammadiyah atau mendukung kepemimpinan politik Akbar Tandjung di Partai Golkar tanpa reserve. "Saya sering menerima pertanyaan dari umat mengenai perkara Akbar Tandjung. Dan, sikap tersebut makin menguat ketika NU-Muhammadiyah melakukan gerakan moral melawan korupsi. Sebagai orang NU, saya berkewajiban mendukung gerakan moral yang sangat terpuji tersebut," tandas KH As'ad Umar. (G14-69j)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar