ni Entry gue tulis satu jam sbelum gue msuk Ruang Operasi. . (ngetik dgn 1 tangan)
Udah skitar 5 hri ni gue skit prut, yg bneer2 alamaaakk/// alamaak d tngah2 sbuk Tryout, alamaak d tgh2 banjirnya ujian.. alamaak d tgh2 mevetx financial, krba udah terforsir pmbyaran ita itu perihal keKelas tigaan..
sblmx, kmrin siang gue smptin buat priksa k RS. tes Urin lalu dsaranin bt USG. paas USG puun bneer2 alamaak pula. si Dkter F ahli USG , dtgah2 USG ngsih gue prtnyaan tntg srat2 al qurab. busyeet seraasa ujian pndok..
diakhir kalimat, "YUPS .. gue ada pnykit Usus Buntu" , akibat usus satu ini di blokir pmerintah krna disinyalir adanya penggelapan keuangan bakteri dan getah.
yaa gue nngis POL2an, nolak bt operasi. finally, mlem2 ortu jmput gue k asrama, n capcuuus k RS Bhayangkara Bjongro. langsung dgn tindakan yg tnpa pkir pjg. sepertii:
1. di ambil sample darah (mendarat d lengan kanan)
2. di infus ,, byuhh byuhh
3. suntik antibiotik 2X
God... pasrahhh.
everyone who read this,, MOHON DOANYA YYAA...
stengah jam lagii..
Dokteeeerr,, pelan2 yaa buka perutnya..
all about my day... yg bener2 there's no secret,, between you n me :) sharing is caring
Rabu, 16 Februari 2011
Selasa, 15 Februari 2011
PEMBUNUH
this vo everyone yg udah maksa2 bt nerbitin entri... "MEVET.COM" , so, this special short story GUYS..
AKU baru saja membunuh. Seorang lelaki kekar penuh tato di kedua lenganya hingga pergelangan tangan. Tato yang kekanak–kanakan. Pikirku. Di lengan kanannya tampak tato samurai tajam penuh kelicikan. Ini pembunuhan ke 9 pada pria bertato samurai. Mungkin yang terakhir sebagai target penutup. Kini mayatnya tengah bersamaku. Aku belum berpikir akan kemana mayat ini ku letakkan. Ku hanyutkan di sungai,di tengah sawah atau ku serahkan pada polisi, sekaligus menyerahkan diri.
Aku terus menembus padang ilalang. Keringatku bercucuran. Langkahku semakin berat di tanah yang berlumpur. Tangan kiriku masih menggenggam kuat belati yang basah darah. Ku genggam erat pergelangan tanganya. Ku seret mayat kekar itu keluar menuju mobil mewahnya. Ya. Kira-kira seperti pulang dari perburuan.
Biasanya tak serumit ini. Itupun berkat kawanku, Ed. Sudah menjadi tugasnya mengurus mayat – mayat, hingga sedikitpun tak pernah tercium oleh aparat kepolisian maupun masyarakat sekitar. Sial. Pekan lalu Ed tertangakap polisi lalu lintas saat operasi kendaraan di suatu perbatasan kota. Ed tertangkap basah tengah membawa mayat di bagasi mobilnya. Beruntung, Ed tak membuka mulut perihal ini itu yang berhubungan dengan kematian. Akupun tak banyak menanyakan tempat-tempat strategis untuk melenyapkan jejak mayat.
Ed melimpahkan semua. Aku, panggil saja Bol, harus meneruskan perjuangan Ed dan terus melumasi mata belati ini dengan darah segar. Pisau yang awalnya bertugas sebagai pemotong buah, sayur, telah berulangkali berhasil mengangkat nyawa. Mengapa kau diciptakan? Sekonyong-konyong ku mencaci belati, lalu ku lempar dalam kubangan lumpur.
Terbayang aku pada sejarah pasukan Ronggolawe dan Tar-Tar yang saling membunuh. Demi mempertahankan daerah dan tahta. Tar-tar yang tiba-tiba datang, ingin merenggut daerah Tuban dan sekitarnya dari gengaman Ronggolawe. Tanpa negosiasi, terjadi pertumpahan darah antara keduanya. Mungkin ada kemiripan peristiwa Ronggolawe dengan peristiwa ini. Tapi, aku tak harus lakukan tipu daya penuh strategi seperti pasukan Ronggolawe. Memberi minum-minuman memabukan seperti tuak, lalu ketika mereka mabuk, itulah momen tepat untuk menekuk lawan. AKU, Bol, yang telah membunuh 9 orang, hanya membutuhkan sebuah belati. Tanpa negosiasi dan tanpa strategi.
Setelah pisau menyambar lenganku akibat perlawananya, aku bagai singa kelaparan. Tak hanya melukai, dengan sigap ku koyak-koyak tubuh lelaki kekar itu.
“Akulah Bol, Sang Ronggolawe!” aku seperti berteriak, meneriakkan kebenaranku. Aku tak mampu menghapus sejarah yang sudah begitu melekat di otakku sejak aku di bangku sekolah.
Tapi aku bukan Ronggolawe yang mempertahankan daerah dan tahta. Melainkan karena dendam. Sudahlah terlambat mempertahankan, kayu telah menjadi abu. Sepuluh tahun yang lalu, aku, Ed, dan Roni tinggal di sebuah kampung di kota JR. Setelah lulus SMP kami bertiga bertekad memulai hidup baru di kota J. Kampungku minim pendidikan dan pekerjaan. Kutinggalkan orangtua dan 2 adik kembar yang saat itu masih berumur 7 bulan. Tahun pertama di kota J, tak satupun pekerjaan yang kami dapatkan. Hingga beberapa bulan terpaksa mengamen. Tahun-tahun berikutnya kami menjadi juru parkir, kuli batu, kuli bangunan, dan berbagai pekerjaan berat dengan upah yang minim. Dua tahun yang lalu kami berniat kembali ke kampung. Mengobati rindu yang besar pada sanak saudara. Hanya Roni yang tak serta, dia sudah beristri yang sedang mengandung pula.
Aku dan Ed sangat bersemangat meski dengan modal yang cukup. Hanya ada satu jalan dari sini untuk ke perkampungan di ujung sana. Banyak perubahan rupanya. Di seberang kampung, berdiri sebuah pabrik besar tak tahu sejak kapan berdirinya. Yang jelas sebuah bangunan baru bagiku. Aku dan Ed mulai berjalan. Dulu jalan berdebu ini dipenuhi ladang tebu dan seberang utara ladang yang kini pabrik terdapat sebuah pohon asam raksasa. Begitulah aku menyebutnya. Namun tak ada lagi, tanggelam di bawah bangunan besar.
Seiring kaki berjalan, ku baca wajah Ed yang semakin membisu. Hatikupun mulai ragu. Pikiran dan isi hati rupanya saling bertukar informasi tanpa terucap. Dari kejauahan, terlihat pos penjagaan yang ditunggu oleh 5 sampai 8 lebih petugas keamanan dari Brimob. Jalan utama memasuki kampung tertutup oleh pagar kawat yang tinggi. Aku berusaha agar tampak yakin. Wajah keluargaku semakin jelas terbayang. Sementara ku baca wajah Ed, dia semakin cemas dan menghentikan langkahnya.
“Ayolah, Ed!!” ujarku sambil menepuk bahunya yang menyembul debu kering dari lengan bajunya.
Sesampai di pos penjagaan tersebut, kami wajib melapor pada petugas dan menitipkan KTP. Seperti memasuki negara lain. Pikirku. Tetapi begitulah peraturan yang tak tertulis. Aku segera menelisik warga yang tampak. Baik aku maupun Ed, tak mengenali satupun dari mereka. Hingga ku temui seorang lelaki berkumis tebal sedang menata kardus besar berjajar di samping rumahnya. Dengan mengaku sebagai pekerja baru pabrik, ku mulai sebuah wawancara dengan pria itu. Ku dapati informasi pahit. Aku dan Ed gelisah. Tepatnya menyesali insiden adu domba antar suku oleh penguasa yang membuat warga menderita, berpisah, dan tewas. Dia ceritakan. Seorang pengusaha senjata api ingin menjadikan tanah yang dulu ladang menjadi sebuah pabrik. Keadaan dusun yang sedang tegang akan konflik dengan suku lain menjadi celah aksi mereka para penguasa. Samurai merupakan lambang perserikatan mereka yang mereka abadikan menjadi tato. Parahnya, ketika ku tanya dimana warga dusun terdahulu, kau berkata mungkin. Mungkin di pemakaman massal. Ed menangis.
Aku yakin, para penguasa khususnya pihak pabrik menjadi dalang insiden tersebut. Pertikaian antar suku mereka jadikan alibi. Itulah awal kebencian dan dendam yang hebat. Aku dan Ed telah brsumpah di atas pemakaman massal. Akan membayar sebuah pembunuhan dengan pembunuhan yang lebih tak bermoral.
Begitulah. Seperti yang telah ku ceritakan sebelum ini. Aku menyeret tubuh kaku ini. Entah mau kemana belum terpikir. Aku melangkah dengan payah keluar dari kubangan ini. Langkahku gontai. Sampai ditepi jalan ku naikkan tubuh yang sudah kaku itu keatas mobil. Sebelum kemudi, kutarik nafas dalam-dalam berharap ide-ide licik muncul. Aku ingin mereka kisah pembunuhan ini. Tapi darimana aku harus memulainya dan bagaimana agar menarik? Aku bimbang. Hatiku gamang. Bagaimana pula nanti reaksi pihak kepolisian. Ah, begitu rumitnya mengarang. Pengalaman mengarangku dibangku sekolah tak cukup bagus. Akhirnya aku gagal membuat karangan.
Kubawa mayat ini dalam mobil berhari-hari. Terkadang kulirik mayat lelaki kekar itu. Semakin ku lihat, keberanianku tiba-tiba lenyap. Jalanan ini begitu sempit dan rupanya cukup tinggi. Ingin ku lempar dari atas jurang ini, tapi batal. Karena khawatir dilihat orang. Aku menguap berkali-kali mencoba mengangkat kelopak yang sudah termakan hari. Aku lupa makan, minum dan lupa segalanya. Rupanya aku juga lupa cara mengemudi. Begitu susah mengendalikannya. Mobil menabrak pembatas jurang dan ajaib. Aku bermain gantole dengan mayat kekar ini. Dia nampak bahagia. “Aku berhasil, Ed” desisku diakhir landasan.
AKU baru saja membunuh. Seorang lelaki kekar penuh tato di kedua lenganya hingga pergelangan tangan. Tato yang kekanak–kanakan. Pikirku. Di lengan kanannya tampak tato samurai tajam penuh kelicikan. Ini pembunuhan ke 9 pada pria bertato samurai. Mungkin yang terakhir sebagai target penutup. Kini mayatnya tengah bersamaku. Aku belum berpikir akan kemana mayat ini ku letakkan. Ku hanyutkan di sungai,di tengah sawah atau ku serahkan pada polisi, sekaligus menyerahkan diri.
Aku terus menembus padang ilalang. Keringatku bercucuran. Langkahku semakin berat di tanah yang berlumpur. Tangan kiriku masih menggenggam kuat belati yang basah darah. Ku genggam erat pergelangan tanganya. Ku seret mayat kekar itu keluar menuju mobil mewahnya. Ya. Kira-kira seperti pulang dari perburuan.
Biasanya tak serumit ini. Itupun berkat kawanku, Ed. Sudah menjadi tugasnya mengurus mayat – mayat, hingga sedikitpun tak pernah tercium oleh aparat kepolisian maupun masyarakat sekitar. Sial. Pekan lalu Ed tertangakap polisi lalu lintas saat operasi kendaraan di suatu perbatasan kota. Ed tertangkap basah tengah membawa mayat di bagasi mobilnya. Beruntung, Ed tak membuka mulut perihal ini itu yang berhubungan dengan kematian. Akupun tak banyak menanyakan tempat-tempat strategis untuk melenyapkan jejak mayat.
Ed melimpahkan semua. Aku, panggil saja Bol, harus meneruskan perjuangan Ed dan terus melumasi mata belati ini dengan darah segar. Pisau yang awalnya bertugas sebagai pemotong buah, sayur, telah berulangkali berhasil mengangkat nyawa. Mengapa kau diciptakan? Sekonyong-konyong ku mencaci belati, lalu ku lempar dalam kubangan lumpur.
Terbayang aku pada sejarah pasukan Ronggolawe dan Tar-Tar yang saling membunuh. Demi mempertahankan daerah dan tahta. Tar-tar yang tiba-tiba datang, ingin merenggut daerah Tuban dan sekitarnya dari gengaman Ronggolawe. Tanpa negosiasi, terjadi pertumpahan darah antara keduanya. Mungkin ada kemiripan peristiwa Ronggolawe dengan peristiwa ini. Tapi, aku tak harus lakukan tipu daya penuh strategi seperti pasukan Ronggolawe. Memberi minum-minuman memabukan seperti tuak, lalu ketika mereka mabuk, itulah momen tepat untuk menekuk lawan. AKU, Bol, yang telah membunuh 9 orang, hanya membutuhkan sebuah belati. Tanpa negosiasi dan tanpa strategi.
Setelah pisau menyambar lenganku akibat perlawananya, aku bagai singa kelaparan. Tak hanya melukai, dengan sigap ku koyak-koyak tubuh lelaki kekar itu.
“Akulah Bol, Sang Ronggolawe!” aku seperti berteriak, meneriakkan kebenaranku. Aku tak mampu menghapus sejarah yang sudah begitu melekat di otakku sejak aku di bangku sekolah.
Tapi aku bukan Ronggolawe yang mempertahankan daerah dan tahta. Melainkan karena dendam. Sudahlah terlambat mempertahankan, kayu telah menjadi abu. Sepuluh tahun yang lalu, aku, Ed, dan Roni tinggal di sebuah kampung di kota JR. Setelah lulus SMP kami bertiga bertekad memulai hidup baru di kota J. Kampungku minim pendidikan dan pekerjaan. Kutinggalkan orangtua dan 2 adik kembar yang saat itu masih berumur 7 bulan. Tahun pertama di kota J, tak satupun pekerjaan yang kami dapatkan. Hingga beberapa bulan terpaksa mengamen. Tahun-tahun berikutnya kami menjadi juru parkir, kuli batu, kuli bangunan, dan berbagai pekerjaan berat dengan upah yang minim. Dua tahun yang lalu kami berniat kembali ke kampung. Mengobati rindu yang besar pada sanak saudara. Hanya Roni yang tak serta, dia sudah beristri yang sedang mengandung pula.
Aku dan Ed sangat bersemangat meski dengan modal yang cukup. Hanya ada satu jalan dari sini untuk ke perkampungan di ujung sana. Banyak perubahan rupanya. Di seberang kampung, berdiri sebuah pabrik besar tak tahu sejak kapan berdirinya. Yang jelas sebuah bangunan baru bagiku. Aku dan Ed mulai berjalan. Dulu jalan berdebu ini dipenuhi ladang tebu dan seberang utara ladang yang kini pabrik terdapat sebuah pohon asam raksasa. Begitulah aku menyebutnya. Namun tak ada lagi, tanggelam di bawah bangunan besar.
Seiring kaki berjalan, ku baca wajah Ed yang semakin membisu. Hatikupun mulai ragu. Pikiran dan isi hati rupanya saling bertukar informasi tanpa terucap. Dari kejauahan, terlihat pos penjagaan yang ditunggu oleh 5 sampai 8 lebih petugas keamanan dari Brimob. Jalan utama memasuki kampung tertutup oleh pagar kawat yang tinggi. Aku berusaha agar tampak yakin. Wajah keluargaku semakin jelas terbayang. Sementara ku baca wajah Ed, dia semakin cemas dan menghentikan langkahnya.
“Ayolah, Ed!!” ujarku sambil menepuk bahunya yang menyembul debu kering dari lengan bajunya.
Sesampai di pos penjagaan tersebut, kami wajib melapor pada petugas dan menitipkan KTP. Seperti memasuki negara lain. Pikirku. Tetapi begitulah peraturan yang tak tertulis. Aku segera menelisik warga yang tampak. Baik aku maupun Ed, tak mengenali satupun dari mereka. Hingga ku temui seorang lelaki berkumis tebal sedang menata kardus besar berjajar di samping rumahnya. Dengan mengaku sebagai pekerja baru pabrik, ku mulai sebuah wawancara dengan pria itu. Ku dapati informasi pahit. Aku dan Ed gelisah. Tepatnya menyesali insiden adu domba antar suku oleh penguasa yang membuat warga menderita, berpisah, dan tewas. Dia ceritakan. Seorang pengusaha senjata api ingin menjadikan tanah yang dulu ladang menjadi sebuah pabrik. Keadaan dusun yang sedang tegang akan konflik dengan suku lain menjadi celah aksi mereka para penguasa. Samurai merupakan lambang perserikatan mereka yang mereka abadikan menjadi tato. Parahnya, ketika ku tanya dimana warga dusun terdahulu, kau berkata mungkin. Mungkin di pemakaman massal. Ed menangis.
Aku yakin, para penguasa khususnya pihak pabrik menjadi dalang insiden tersebut. Pertikaian antar suku mereka jadikan alibi. Itulah awal kebencian dan dendam yang hebat. Aku dan Ed telah brsumpah di atas pemakaman massal. Akan membayar sebuah pembunuhan dengan pembunuhan yang lebih tak bermoral.
Begitulah. Seperti yang telah ku ceritakan sebelum ini. Aku menyeret tubuh kaku ini. Entah mau kemana belum terpikir. Aku melangkah dengan payah keluar dari kubangan ini. Langkahku gontai. Sampai ditepi jalan ku naikkan tubuh yang sudah kaku itu keatas mobil. Sebelum kemudi, kutarik nafas dalam-dalam berharap ide-ide licik muncul. Aku ingin mereka kisah pembunuhan ini. Tapi darimana aku harus memulainya dan bagaimana agar menarik? Aku bimbang. Hatiku gamang. Bagaimana pula nanti reaksi pihak kepolisian. Ah, begitu rumitnya mengarang. Pengalaman mengarangku dibangku sekolah tak cukup bagus. Akhirnya aku gagal membuat karangan.
Kubawa mayat ini dalam mobil berhari-hari. Terkadang kulirik mayat lelaki kekar itu. Semakin ku lihat, keberanianku tiba-tiba lenyap. Jalanan ini begitu sempit dan rupanya cukup tinggi. Ingin ku lempar dari atas jurang ini, tapi batal. Karena khawatir dilihat orang. Aku menguap berkali-kali mencoba mengangkat kelopak yang sudah termakan hari. Aku lupa makan, minum dan lupa segalanya. Rupanya aku juga lupa cara mengemudi. Begitu susah mengendalikannya. Mobil menabrak pembatas jurang dan ajaib. Aku bermain gantole dengan mayat kekar ini. Dia nampak bahagia. “Aku berhasil, Ed” desisku diakhir landasan.
Langganan:
Postingan (Atom)